Fakta dan Mitos - Isu terpanas seputar dokter saat ini adalah diciduknya dokter Ayu SpOG dengan dua rekannya karena dianggap karena kelalaiannya menangani pasien divonis penjara dengan keputusan tetap dari Mahkamah Agung.
Yang ditakutkan oleh dokter adalah ‘preseden’ di bidang hukum ini akan menjadi ’santapan’ lezat para pengincar-pengincar kelalaian dokter untuk mulai giat mencari-cari peluang masalah. Kalau tujuannya untuk membuat dokter-dokter di Indonesia semakin profesional it’s okey. Tetapi kalau tujuan utamanya hanya ‘pemerasan’ maka akan beda lagi ceritanya.
Pertanyaannya mengapa dokter bisa lalai?
1. Faktor profesional keilmuan
Bisa saja si dokter memang belum benar-benar mahir di bidangnya tetapi berani-beranian melakukan tindakan tertentu. Misalnya si dokter saat pendidikan baru melakukan tindakan sirkumsisi 2 kali itupun dibimbing oleh seniornya, namun berani-beraninya melakukan sunatan massal dengan peserta 12 orang dan 9 diantaranya bermasalah.
2. Faktor kelelahan
Misalnya di sebuah rumah sakit ada 100 pasien di poliklinik, sementara dokter yang ada hanya 1 orang, sementara yang lain ikut rapat di dinas, maka 20-30 pasien pertama mungkin saja si dokter masih dapat memeriksa dengan teliti 15-20 menit dan obatnya sesuai, tetapi pasien ke 30-100 tidak dijamin lagi.
3. Faktor konsentrasi
Kalau si dokter pasiennya sedikit, tetapi dia memeriksa pasien sambil ‘BBM-an’ dengan teman/pacarnya atau sambil menonton televisi atau sedang pikirannya kacau sedang bertengkar dengan istri/suami, maka hasil pemeriksaannya tidak dijamin baik.
4. Faktor sarana/prasarana
Misalnya saat operasi dengan pembiusan umum lalu listrik mati, ‘genset’ macet lalu alat bantu napas manual rumah sakit juga bocor/rusak, maka si pasien bisa saja meninggal. Atau seperti kejadian 13 tahun lalu di salah satu propinsi di Sumatera. Dokter anestesinya dianggap lalai karena pasien salah diberikan gas karbondioksida yang seharusnya oksigen, sialnya si pasien meninggal beberapa hari kemudian dan keluarganya menuntut. Padahal sebenarnya selang gasnya sudah benar, tetapi petugas yang mengisi gasnya terbalik mengisi oksigen dan karbondioksida di depot gas. Tetapi karena si dokter yang memasukkan selang ke hidung dan paru-paru si pasien, maka dialah yang dianggap lalai, sebab kalau petugas depot gas yang dianggap lalai, maka manajemen rumah sakit pun bisa kena. Disini terlihat sekali dokternya ‘dikorbankan’ oleh rumah sakit.
Untuk mengatasinya, dapat dilakukan hal-hal berikut :
1. Keilmuan yang kurang
Maka sebelum melakukan pekerjaannya si dokter harus diuji kompetensi oleh pihak rumah sakit seketat mungkin. Terutama yang memegang pisau, harus diuji melakukan tindakan beberapa kali dan dinilai oleh seniornya di rumah sakit tersebut.
2. Kelelahan
Dokter hanya dibatasi menatalaksana pasien 20-30 orang di poliklinik atau kalau operasi dibatasi 5 orang perhari. Kalau pasiennya banyak, maka dokternya ditambah. Kalau dokternya tidak bisa ditambah, maka pasien ke 31 dan seterusnya menandatangani persetujuan bersedia diobati secara ‘kilat’/ tidak maksimal lagi karena beban kerja si dokter sudah terlewati/kelelahan. Dapat juga ada perjanjian kerja si dokter dengan pimpinan instansinya bekerja kalau terjadi kelalaian akibat pasien berlebihan, maka itu adalah tanggung jawab si atasan.
3. Kalau si dokter mau bekerja, sebaiknya perawat pendamping poliklinik memperhatikan konsentrasi si dokter fokus atau terpecah. Kalau sibuk main BBM diingatkan simpan dulu BBM-nya, kalau sedang ‘galau’ bisa istirahat sebentar atau disuruh cuti saja daripada lalai.
4. Soal fasilitas
Maka dokter harus ikut memeriksa semua kelengkapan pemeriksaan/tindakan dan boleh urung praktek/operasi kalau fasilitas tidak sesuai standar.
Dan karena sudah ada ‘preseden’ dokter lalai dipenjarakan seperti ini, maka bukan tidak mungkin akan semakin rajin aparat hukum berusaha keras menuntut dokter seperti ini dan sialnya si dokter akan dimasukkan sel bersama para pencuri, perampok, pembunuh, pemerkosa, penipu, koruptor atau bandar narkoba. Padahal dokter yang lalai ini sebenarnya niatnya tidak sama dengan kriminal lain. Tidak ada dokter yang berniat membunuh pasiennya, beda dengan kriminal lain yang mungkin niatnya memang jahat.
Untuk itu kalau ‘hobby’ memenjarakan dokter ini sudah mewabah di negara kita saya usulkan didirikanlah PENDOKLAI, singkatan dari penjara khusus untuk dokter-dokter yang lalai. Karena niat si dokter yang sebenarnya ingin menolong pasien tetapi karena ’slip’ jadi meninggal.
Penjara PENDOKLAI ini tidak perlu jeruji besi, cukup tembok saja dan tiap hari si dokter dikunjungi oleh pembimbing medis yang bersesuaian untuk melatih si dokter ini mengatasi kemungkinan kelalaian di kasusnya terulang lagi.
Si dokter dapat keluar dari PENDOKLAI, kalau pembimbing akademisnya merekomendasikan si dokter sudah ‘lulus’ dari program mengatasi kelalaian.
Demikianlah usulan saya, karena kalau dokter dipenjara disatukan bersama kriminal lain karena ‘lalai’, maka bukan tidak mungkin dia lebih tertarik menekuni kriminalitas yang ditularkan oleh penjahat lain dan meninggalkan profesi kedokterannya, padahal jumlah dokter di Indonesia masih sangat kurang.
Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar