Cari Blog Ini

Kamis, 28 November 2013

5 Alasan untuk Menonton Film "Snowpiercer"

Fakta dan Mitos - Bila Anda bersedia mengabaikan beberapa pertanyaan mendasar dari premisnya, “Snowpiercer” (2013) adalah salah satu film fiksi ilmiah yang melontarkan pertanyaan cerdas dan mendalam mengenai makna kemanusiaan. Di tengah deretan film bergenre sama yang mengandalkan visualisasi epik, “Snowpiercer” yang bukan produksi Hollywood justru menawarkan kisah mengenai bencana global dengan drama karakter yang lebih intim.

Bagi mereka yang menggemari karya-karya Bong Joon-ho atau tertarik dengan kisah-kisah berlatar masa depan distopia, “Snowpiercer” bisa menjadi tontonan alternatif yang menyuguhkan friksi akibat kontrasnya kehidupan antarkelas sosial selain “The Hunger Games : Catching Fire”.

Kenapa film adaptasi dari novel grafis “Le Transperceneige” ini layak untuk disimak? Berikut adalah lima alasan menonton film “Snowpiercer” :

1. Bong Joon-ho
Meski sudah punya nama besar di pasar internasional, usaha para sutradara asal Korea Selatan untuk menerjemahkan visi mereka dengan rasa Hollywood tak selalu berakhir sukses. Tahun ini kita telah menyaksikan film berbahasa Inggris dari Park Chan-wook (“Stoker”) dan Kim Jee-won (“The Last Stand”) terseok-seok di pasar Amerika Serikat. Performa di daftar film box office serta ulasan dari film-film tersebut sungguh sebuah hasil yang antiklimaks. Terutama, karena Park pernah menorehkan catatan brilian dengan film seperti “Oldboy” (2003), sementara Kim adalah sutradara “A Tale of Two Sisters” (2003). Berkat rekam jejak yang cukup mengagumkan, Bong Joon-ho pun sudah lama ditunggu untuk menelurkan film berbahasa Inggris. Dengan buzz awal yang sangat positif, “Snowpiercer” pun melaju sebagai salah satu film yang dinanti kemunculannya. Apalagi sempat ada kabar yang menyebutkan bahwa 20 menit dari durasi “Snowpiercer” akan dipotong untuk rilis Amerika Serikat, yang cukup menyedot perhatian media dan membuat para penggemar film murka. Meski isu mengenai pemotongan film tersebut mungkin tak akan benar-benar terjadi, kita perlu bersyukur bahwa di Indonesia, “Snowpiercer” dirilis dengan utuh sehingga tidak merusak integritas artistik dari film karya Bong Joon-ho ini. Meski berbahasa Inggris dan terasa lebih mainstream dari film-film Bong yang terdahulu, drama yang disuguhkan “Snowpiercer” terasa agak berbeda dari film-film Hollywood kebanyakan. Di beberapa bagian, renungan yang disampaikan film ini juga cukup bersinar dan memberi “Snowpiercer” nilai tambah dibanding film-film pasca kiamat lainnya.

2. Isu Sosial
Film-film fiksi ilmiah dengan latar masa depan distopia biasanya sarat dengan kritik sosial. “Snowpiercer” tetap mampu mengolah kisahnya dengan memikat meski kaum manusia yang bertikai jumlahnya hanya segelintir. Bila dilihat secara garis besar, kondisi “Snowpiercer” dan masalah-masalahnya sesungguhnya hanya merupakan versi mikroskopis dari dunia yang ada saat ini. Masalah-masalah seperti jurang antara si miskin dan si kaya, kekerasan, hak asasi manusia, pemujaan terhadap mesin dan sosok juru selamat, sampai masalah ekosistem dan harga dari keselamatan umat manusia dikupas perlahan oleh Bong Joon-ho memanfaatkan jendela durasi yang ada..Walau tak jarang “Snowpiercer” mengingatkan penonton akan sederetan film lain, tetapi isu-isu yang ada hanya terasa sebatas mirip dan bukan jiplakan. Meski demikian, naskah yang ditulis oleh Bong Joon-ho dan Kelly Masterson masih menyisakan lubang-lubang yang tidak berhasil ditutup rapat sehingga meninggalkan perasaan tak puas. Perasaan familiar saat mendapati beberapa isu yang ditampilkan oleh film ini juga mungkin membuat mereka yang sudah menonton banyak film fiksi ilmiah sejenis merasa agak terdistraksi.

3. Desain
Anda mungkin punya sedikit bayangan mengenai apa isi dari kereta yang membawa rombongan terakhir umat manusia ini. Tetapi, sang desainer produksi, Ondrej Nekvasil, punya cukup banyak imajinasi untuk membuat isi kereta ini mirip dengan apa yang Anda bayangkan, namun tidak benar-benar seperti apa yang Anda pikirkan. Mulai dari bagian belakang kereta yang kumuh sampai ke gerbong depan yang mewah, tiap bagian menawarkan kejutan tersendiri dengan humor gelap yang membuat kehadiran segmen demi segmen rasanya seperti memasuki sebuah mimpi buruk yang penuh hal janggal. Sayangnya, detail unik yang ada di dalam kereta tidak diimbangi dengan lanskap bersalju di luar jendelanya yang terlihat seperti hasil efek visual murah. Hal ini cukup membuat “Snowpiercer” pincang karena fantasi mengenai akhir peradaban yang diakibatkan oleh kecerobohan manusia sendiri akan terasa lebih nyata dengan gambaran kota-kota mati berselimut salju yang lebih photorealistic.

4. Darah dan Kekerasan
Dari sederetan film fiksi ilmiah yang beredar di tahun ini, judul-judul dengan rating dewasa cukup sulit ditemui. Dengan revolusi yang terjadi di atas kereta, “Snowpiercer” yang tidak perlu memikirkan batasan rating seperti film-film Hollywood pun bebas untuk mewarnai kisahnya dengan semburat darah. Meski demikian, kekerasan yang mewarnai aksi di atas kereta bukan hanya sekadar untuk bergaya demi kesan sangar. Pertumpahan darah di tengah perjuangan untuk memperoleh keadilan memang sering kali tak terelakkan. “Snowpiercer” sendiri cukup efektif menggunakan ruangan-ruangan sempit untuk menguatkan tensi cerita saat para pemeran utamanya mau tak mau harus berhadapan dengan bahaya tanpa adanya celah untuk menghindar atau kabur. Tapi, kesan horor tak hanya akan didapatkan penonton hanya dari visualisasinya di layar saja. Tentu saja, gambaran paling menakutkan ada di kepala penonton sendiri yang dapat membayangkan apa saja yang telah terjadi di dalam gerbong-gerbong yang terisolasi selama hampir dua dekade ini.

5. Tilda Swinton
“Snowpiercer” penuh dengan kehadiran aktor dan aktris yang cukup dikenal. Selain menghadirkan Chris Evans sebagai pemeran utama, film ini juga menghadirkan John Hurt, Ed Harris, Jamie Bell, dan Octavia Spencer. Tetapi, sosok dengan akting paling fantastis dalam “Snowpiercer” adalah Tilda Swinton. Sebagai pejabat yang menjalankan urusan resmi, mulai dari menyampaikan pengumuman, pidato, dan eksekusi hukuman, jauh sampai ke gerbong paling belakang, Swinton memberikan penampilan multidimensi yang menyegarkan pada karakter Mason yang diperankannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar