Fakta dan Mitos - Saya kurang begitu peduli dengan perkembangan sepak bola kita sejak kisruh berkepanjangan antara kelompok Jenggala dan seterunya.
Saya muak dan bosen melihat mereka dan para pendukungnya selalu bertengkar di media. Saling hujat, saling caci, bahkan saling memelintir surat FIFA dan AFC dilakuan bergantian tanpa rasa malu. Statuta yang sejatinya menjadi otak dalam kegiatan organisasi malah ditaruh didengkul semua. Semua merasa paling benar. Padahal sama-sama tak berkontribusi untuk persepakbolaan nasional. Miskin prestasi dan miskin segala-galanya.
Tapi saya tidak akan membahas itu. Soalnya sudah banyak kompasianers yang cerdas-cerdas menulis itu. Saking cerdasnya berita hoax juga mereka pelintir seolah-olah ada pesanan dari kelompok tertentu. Semua kompasianer sudah jago copypaste berita dari harian lain.
Malah situs FIFA saja mereka satroni. Wow, hebat! Harusnya Kompasianers yang hebat-hebat ini menulis untuk perbaikan dan kemajuan, bukannya saling hujat mengatasnamakan IPL atau ISL. Tapi apakah prestasi Kompasioners yang hebat-hebat ini juga sehebat prestasi kita? Ternyata jauh panggang dari tungku.
Berikut ini saya sebutkan saja sebab prestasi sepak bola kita semakin jauh tertinggal dari negara lain. Peringkat FIFA diabaikan karena saya hanya mengacu pada sebagian penyebabnya yang 3000 % merupakan produk dalam negeri.
1. Klub tidak mau mengakui Kekalahan
Selain sudah muak dengan Om Nurdin Halid, penyebab kita kisruh tempo hari juga dilatari oleh klub yang selalu tidak mau mengakui kekalahan. Akibatnya mereka bikin liga tandingan yang profesional tanpa penonton. Penyakit ini sama dengan penyakit kontestan Pilkada. Dikit-dikit ngadain deklarasi pemilu damai. Setelah kalah mengerahkan massa untuk mengintimidasi lawan dan KPU setempat.
2. Manajemen sepak Bola belum Profesioanal
Ini untuk menggantikan istilah politisasi sepak bola yang sering didengung-dengunkan. Silahkan saja sepak bola dipegang orang politik asal tidak sampai masuk ke lapangan hijau. Berlusconi, pemilik AC Milan saja melakukan itu. Tapi dia tahu diri dan tidak pernah memajang mukanya dipinggir lapangan. Apalagi menyesuaikan kostum klub dengan warna bendera partainya seperti kebanyakan yang terjadi di Indonesia. Politisasi sepak bola tidak akan berhasil selama Klub ditata dengan manajemen yang profesional, sehingga tahu apa yang harus dilakukan bila badut-badut politik juga sudah menari dipinggir lapangan.
3. Suporter sok ganas dan sok hebat
Tiada hari tanpa kisruh dan bentrok antar suporter. Inilah ciri khas suporter kita yang sok hebat dan sok nekat. Sudah malas beli tiket naik kereta api juga pengen gratis. Timnya menang saja bikin kisruh apalagi kalau kalah. Akibatnya sponsor terkadang malas mendanai. Buat apa capek-capek ngeluarin uang kalo akhirnya nanti klub yang disponsori diberi sanksi boleh bertanding tapi tanpa penonton. Rugi mereka.
4. Bertebarannya Provokator Siluman
Ini yang paling parah. Provokator siluman sendiri terdiri dari beragam unsur. Mulai dari pengamat dadakan yang suka nulis perpecahan di kompasiana, sampai tokoh-tokoh masyarakat di Papua sana yang mengancam berkibarnya bintang kejora kalau Persipura dibatalkan tampil diajang internasional.
Masih banyak sebenarnya yang mau saya tulis. Berhubung saya sudah semakin ngantuk dan tulisan saya semakin lama semakin jelek dan takut tidak terbaca nantinya maka terpaksa dengan berat mata saya akhiri sampai disini.
# Menulislah Untuk Sepak bola Indonesia Yang Bermartabat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar